Pernahkah kamu merasa selalu ada orang yang datang mendekat hanya ketika ia sedang kesulitan, tapi saat semua sudah beres dan ia berhasil, kamu pun dilupakan begitu saja? Atau lebih pahit lagi kamu merasa selama ini hanya menjadi batu loncatan bagi keberhasilan orang lain?
Situasi seperti ini sering membuat hati sakit. Kita bertanya dalam diam, “Salahkah saya karena terlalu baik? Atau memang saya yang terlalu mudah dimanfaatkan?”
Tenanglah. Kamu tidak sendirian. Banyak orang baik yang mengalami hal yang sama. Namun dari pengalaman itu, ada pelajaran berharga yang bisa kita petik.
Membantu Itu Mulia, Tapi Jangan Sampai Lupa Pada Diri Sendiri
Menolong orang lain memang perbuatan mulia, namun bukan berarti kita harus selalu berkata “iya” pada semua permintaan. Ada kalanya kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah bantuan ini membuatku bertumbuh, atau justru membuatku kehilangan diriku?
Belajar Menetapkan Batas
Kebaikan tanpa batas seringkali berubah menjadi celah bagi orang lain untuk memanfaatkan kita. Maka, penting sekali untuk belajar berkata “tidak” dengan tegas. Menolak bukan berarti egois, tapi tanda bahwa kamu menghargai dirimu sendiri.
Selektif Itu Bukan Sombong
Tidak semua orang pantas menerima tenaga, waktu, dan energi kita. Ada yang benar-benar butuh dan berusaha, ada pula yang hanya ingin menumpang sukses tanpa kerja keras. Bijaklah memilah, agar kebaikanmu jatuh di tempat yang tepat.
Jangan Sesali Kebaikanmu
Mungkin kamu pernah dimanfaatkan. Tapi jangan biarkan pengalaman itu membuatmu berhenti berbuat baik. Ingat, kesalahan bukan pada kebaikanmu, melainkan pada orang yang tidak tahu menghargainya. Jadikan pengalaman itu guru, bukan luka.
Tetaplah Baik, Tapi Bijak
Hidup ini bukan tentang seberapa sering kamu membantu, melainkan seberapa bijak kamu menjaga dirimu sendiri. Membantu itu indah, tapi melindungi diri dari orang yang hanya ingin memanfaatkanmu jauh lebih bijak.
Maka, teruslah berbuat baik, namun jangan lupa untuk menegakkan batas. Karena kebaikan sejati adalah ketika hatimu tetap tulus, tapi juga cukup kuat untuk tidak diperlakukan seenaknya.
Ujang Masri
9/29/2025
CB Blogger
IndonesiaPernahkah kamu merasa hanya ingin hidup sederhana dan tenang, tanpa mengusik kehidupan siapa pun, namun tetap saja ada orang yang seolah tak bisa diam—selalu mencari celah untuk mengomentari, mengusik, bahkan merendahkanmu?
Awalnya kamu mungkin heran, “Saya tidak pernah mengganggunya, kenapa dia begitu sibuk mengurusi hidup saya?” Lama-lama perasaan itu bisa berubah menjadi lelah, marah, bahkan sakit hati.
Tapi, percayalah. Gangguan mereka tidak pernah lebih besar dari kekuatanmu.
Tenang Adalah Senjata Terkuat
Orang yang suka mengusik seringkali hanya mencari perhatian. Mereka ingin reaksimu, ingin melihatmu jatuh, ingin melihatmu marah. Maka, ketika kamu tetap tenang, kamu sudah menang. Jangan biarkan ucapan mereka masuk terlalu dalam, karena yang paling tahu dirimu hanyalah kamu sendiri.
Fokus pada Diri, Bukan pada Mereka
Kehidupanmu bukanlah panggung untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Biarkan mereka sibuk dengan ocehan, sementara kamu sibuk membangun langkahmu. Fokus pada mimpimu, pada perjalananmu, dan pada orang-orang yang benar-benar peduli.
Menjaga Jarak Itu Bukan Kesalahan
Kadang, menjaga jarak dari orang yang suka mengusik adalah bentuk cinta pada diri sendiri. Tidak semua orang pantas berada dekat dengan kita. Memilih lingkaran pergaulan yang sehat bukan berarti sombong, tetapi sebuah kebutuhan agar hatimu tetap tenang.
Jadikan Gangguan Sebagai Bahan Bakar
Alih-alih jatuh karena cibiran, gunakan itu sebagai motivasi. Tunjukkan lewat tindakan, bukan kata-kata, bahwa hidupmu tidak akan goyah hanya karena ada yang berusaha menjatuhkanmu.
Doakan Mereka, Bebaskan Dirimu
Boleh jadi, orang yang sibuk mengusik justru hatinya sedang tidak tenang. Dengan mendoakan mereka, kamu sedang membebaskan dirimu sendiri dari beban kebencian. Ingat, memaafkan bukan berarti membenarkan, tapi agar hatimu sendiri tidak ikut rusak.
Tetaplah Berjalan dengan Kepala Tegak
Kamu tidak bisa mengendalikan mulut dan pikiran orang lain. Namun kamu bisa mengendalikan sikapmu. Maka, teruslah berjalan dengan kepala tegak. Biarkan mereka ribut di belakangmu, sementara kamu melangkah menuju masa depanmu.
Karena pada akhirnya, orang yang benar-benar kuat bukanlah yang paling lantang membalas, melainkan yang paling tenang menghadapi badai.
Ujang Masri
9/29/2025
CB Blogger
IndonesiaPernahkah kamu mengalami situasi seperti ini: kamu membantu seseorang dengan sepenuh hati, mendampingi langkah demi langkah hingga akhirnya ia berhasil, tetapi ketika ia sudah berdiri tegak, justru kamu yang ia abaikan?
Awalnya mungkin ada rasa haru, bangga, dan bahagia melihatnya berhasil. Namun perlahan-lahan, ada yang mengganjal di hati—karena sosok yang dulu begitu membutuhkanmu, kini seolah tak lagi mengingat siapa yang pernah ada di sisinya. Rasanya perih, bukan?
Namun, mari kita berhenti sejenak. Apakah artinya kebaikanmu sia-sia hanya karena orang itu melupakanmu? Tidak. Justru di sinilah letak ujian hati kita.
- Menolong dengan Hati, Bukan Harapan Balas Budi
Ketika kita membantu, seringkali tanpa sadar kita menaruh harapan setidaknya ucapan terima kasih, setidaknya pengakuan kecil. Namun, dunia tidak selalu bekerja seperti itu. Tidak semua orang pandai menghargai, tidak semua orang pandai berterima kasih. Dan itu bukan kesalahanmu.
Yang terpenting adalah niatmu. Jika saat itu hatimu tulus ingin melihat seseorang keluar dari kesulitan, maka keberhasilannya sudah menjadi hadiahmu sendiri. Ingat, menolong dengan tulus adalah investasi yang hasilnya tidak selalu datang dari orang yang sama, tapi bisa datang dari arah yang tak pernah kita duga.
- Jadikan Pengalaman Sebagai Guru
Kekecewaan bukan untuk disesali, melainkan untuk dipelajari. Pengalaman ini akan mengajarkan kita untuk tetap berbuat baik, namun dengan cara yang lebih bijak. Menolong bukan berarti membiarkan diri kita dimanfaatkan, tetapi menolong adalah tentang menjaga hati agar tetap ringan, tidak membiarkan dendam meracuni jiwa.
- Menjaga Martabat dengan Kedewasaan
Saat kita tetap tenang meski diabaikan, di situlah nilai kita sesungguhnya tampak. Kita tidak perlu membalas dengan sindiran, amarah, atau menjauhkan kebaikan dari hidup kita. Biarkan sikap orang lain menjadi urusan dia dengan Tuhannya. Sementara kita? Kita terus berjalan dengan kepala tegak, karena kita tahu apa yang kita lakukan benar.
- Hukum Kehidupan yang Tak Pernah Gagal
Percayalah, setiap kebaikan tidak pernah hilang. Jika bukan orang yang kita bantu yang membalas, maka semesta akan mengembalikannya lewat pintu lain—entah berupa rezeki yang tak terduga, sahabat yang setia, atau sekadar rasa tenang yang tak bisa dibeli.
- Kebaikan Tak Pernah Sia-Sia
Jika suatu hari kamu merasa kecewa karena dilupakan setelah membantu, ingatlah satu hal: kebaikan tidak pernah sia-sia, meski manusia melupakannya.
Apa yang kamu tanam hari ini mungkin tidak tumbuh di ladang yang sama, tapi percayalah, ia akan berbuah di tempat lain, pada waktu yang tepat. Jangan biarkan rasa sakit membuatmu berhenti menolong. Karena dunia ini butuh lebih banyak orang yang tetap mau berbuat baik, meski pernah dikecewakan.
Teruslah berbuat baik, bukan karena orang lain, tapi karena dirimu layak menjadi pribadi yang hatinya tetap bersih dan kuat.
Ujang Masri
9/29/2025
CB Blogger
IndonesiaPagi itu, dapur sepi. Tak ada suara desis minyak, tak ada aroma nasi hangat seperti biasanya. Yang ada hanya suara perut yang mulai bernyanyi pelan, dan anak yang bertanya polos, Bunda, nanti aku jajan apa ya di sekolah?
Aku diam.
Di rak, tak ada beras.
Di dapur, tabung gas kosong.
Di meteran listrik, angka berkedip menandakan token hampir habis.
Dompet? Kosong.
Motor? Tak ada bensin.
Barang di rumah? Tak ada yang bisa dijual lagi.
Utang? Masih ada. Dan rasa malu? Sudah terlalu sering ditelan.
Aku duduk di lantai, bersandar ke tembok, menatap langit-langit.
Apa ini akhirnya? pikirku.
Tapi di saat yang sama, aku tahu anakku butuh makan, butuh sekolah, dan aku... masih hidup.
Kalau aku masih hidup, berarti aku masih bisa berbuat sesuatu.
Menelan Malu, Menumbuhkan Harapan
Aku bangkit. Kuusap air mata. Lalu aku keluar, mengetuk rumah tetangga sebelah. Bukan untuk mengemis, tapi aku bicara jujur:
Bu, maaf ganggu. Saya sedang benar-benar kesulitan. Kalau Ibu punya nasi sisa atau bisa bantu pinjam gas sedikit, saya mau banget.
Saya akan ganti. Saya juga siap bantu beresin rumah Ibu, bersih-bersih, apa aja, asal halal.
Tanganku gemetar, tapi hatiku lega. Aku bicara dengan jujur. Dan ternyata... dia tersenyum.
Dia kasih aku sedikit beras, bahkan tawarkan aku bantu beresin rumahnya seminggu ini.
Posting Kejujuran di Facebook
Malamnya, aku pinjam WiFi tetangga, buka Facebook, dan aku tulis:
Saya bukan pengemis, saya cuma ibu yang lagi terjepit. Anak saya belum makan, listrik mau habis. Saya siap bantu bersih rumah, nyuci motor, antar belanja. Lokasi saya di..., mohon kalau ada kerjaan harian, saya butuh banget.
Aku posting di grup warga sekitar. Aku sempat malu, tapi lebih malu kalau anakku tidur dalam lapar
Dan ajaib... dalam sejam, ada yang japri. Ada yang minta bantuin cuci motor. Ada juga yang mau aku bantu jaga warung sebentar. Ada juga yang transfer Rp20.000 katanya dia juga pernah di posisi aku.
Air mataku jatuh.
Bukan karena sedih. Tapi karena merasa...
ternyata aku tidak sendiri.
Bukan Soal Uang, Tapi Keberanian untuk Bergerak
Hari itu aku belajar satu hal penting:
Ketika semua terasa mentok, bukan artinya selesai.
Itu artinya kamu harus mulai dengan cara baru.
Bukan menyerah,tapi berani bicara.
Bukan mengemis, tapi menawarkan tenaga dan kejujuran.
Sekarang, hidupku belum kaya. Tapi aku tahu jalan.
Aku tahu siapa yang bisa aku minta tolong.
Dan yang paling penting, aku tahu bahwa aku bisa bangkit, bukan karena uang, tapi karena mau melangkah meski dengan kaki gemetar.
Jika Kamu Sedang Terjepit...
Kalau kamu yang baca ini sedang dalam situasi seperti aku,
dapur kosong,
listrik mati,
utang masih numpuk,
anak minta jajan, dan rasanya dunia mengejek...
Tolong, jangan menyerah.
Beranilah bicara.
Beranilah minta bantuan, asal dengan niat kerja dan jujur.
Dunia ini tidak sekejam yang kita pikir.
Kadang, bantuan datang setelah kita jujur, bukan setelah kita kuat.
Bertahan bukan berarti lemah.
Bertahan artinya kamu sedang menjemput harapan dengan cara sederhana, dengan tidak menyerah.
Tahun ini, tepat dua puluh tahun aku menjadi guru honorer. Bukan angka yang singkat. Dua dekade waktu yang cukup panjang untuk mengubah dunia, tapi tidak cukup untuk mengubah hidupku.
Aku memulai langkah ini di tahun 2005. Saat itu, idealisme masih segar, semangat masih menyala. Aku percaya, menjadi guru adalah panggilan jiwa. Tapi siapa sangka, panggilan itu datang tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup.
Gajiku? Hanya lima ratus ribu rupiah. Bahkan ketika harga segala sesuatu naik, angka itu tak pernah ikut menanjak.
Aku tetap berdiri di depan kelas, mengajar dengan hati, meski perut kadang tak terisi.
Kadang aku bertanya pada diri sendiri, "Apakah sampai di sini saja rezekiku?"
Tapi aku terima. Bukan karena aku pasrah. Tapi karena aku lelah melawan sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa kuubah sendiri.
Kini, tahun 2025, aku sedang berproses dalam seleksi PPPK paruh waktu. Sebagian hatiku berharap, sebagian lagi takut kecewa.
Tapi aku tetap jalani, walau pelan-pelan. Walau sendirian. Yang membuatku bertahan selama ini, bukan karena aku kuat.
Tapi karena aku punya istri yang jauh lebih kuat dari diriku sendiri. Wanita luar biasa yang tak pernah mengeluh, meski hidup bersamanya tak pernah mudah.
Wanita mana yang sanggup bertahan hidup selama 20 tahun dengan penghasilan suaminya yang cuma 500 ribu sebulan?
Dia tetap tinggal. Tetap setia. Tetap percaya padaku, bahkan saat aku sendiri mulai tak yakin pada diriku sendiri.
Sering aku menangis sendirian.
Di sudut ruangan kecil, atau saat semua orang sudah tertidur.
Bukan karena lemah, tapi karena merasa gagal.
Gagal sebagai suami.
Gagal sebagai anak.
Gagal sebagai laki-laki.
Aku malu pada orang tuaku.
Malu pada mertuaku.
Karena bukan rasa bangga yang bisa kuberikan, tapi justru kerepotan yang tak ada habisnya.
Kami tinggal di gubuk tua milik kakakku.
Rumah kecil yang lebih cocok disebut tempat berteduh sementara.
Setiap malam, aku tidur dengan waswas-takut kalau angin atau hujan terlalu kuat, dan atap itu tak lagi sanggup melindungi kami.
Aku melihat istriku kelelahan setiap hari, tapi tetap berusaha tersenyum. Dan itu yang paling menyakitkan-melihat orang yang kau cintai menderita karena kau belum mampu memberi hidup yang lebih baik.
Di sela malam yang dingin dan gelap, aku hanya bisa berdoa dalam hati:
“Ya Allah, mudahkanlah hamba mencari rezeki-Mu…
Agar aku bisa membahagiakan orang-orang yang menyayangiku…
Berilah hamba rezeki yang cukup, agar kami bisa tidur nyenyak…
Di rumah yang layak…”
Motivasi untuk Diri Sendiri:
Aku tahu, perjalanan ini belum selesai.
Mungkin hasilnya belum terlihat hari ini.
Tapi aku percaya, bahwa setiap tetes air mata, setiap doa yang kupanjatkan dalam diam, dan setiap perjuangan yang tak terlihat oleh mata manusia… tidak akan pernah sia-sia di hadapan Tuhan.
Aku telah jatuh berkali-kali. Tapi aku juga bangkit berkali-kali.
Selama aku masih punya harapan, dan selama istriku masih menggenggam tanganku…
Aku tidak akan berhenti.
Untuk diriku sendiri:
Jangan menyerah.
Mungkin hidup belum memihak, tapi bukan berarti ia tak akan berubah.
Pelan-pelan…Kita akan sampai juga.
Dulu, aku selalu berpikir hidupku sudah tertata rapi. Karier yang menjanjikan, hubungan yang stabil, impian-impian yang siap kuraih. Aku berjalan dengan percaya diri, seolah tak ada yang bisa menggoyahkanku. Namun, hidup punya cara tersendiri untuk menguji keyakinan itu.
Diawali dengan masalah di kantor yang membuatku merasa tak lagi dihargai. Kemudian, hubungan yang kukira akan abadi, perlahan retak dan hancur berkeping-keping. Tak cukup sampai di situ, masalah finansial yang tak terduga muncul, menyeretku ke jurang kecemasan yang dalam. Rasanya seperti ombak besar yang datang bertubi-tubi, menghantamku hingga aku tak bisa lagi bernapas.
Aku ingat betul malam itu. Duduk sendirian di kamar yang gelap, air mata tak henti mengalir. Aku merasa sangat kecil, rapuh, dan yang terpenting: sendirian. Segalanya tampak begitu suram, seolah tak ada cahaya di ujung terowongan. Aku hanya ingin semuanya berhenti. Aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana.
Di titik terendah itulah, sebuah bisikan kecil muncul. Bisikan yang mengatakan, "Kamu tidak bisa terus seperti ini."Aku tahu itu benar. Jadi, dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku memutuskan untuk bangkit. Bukan bangkit dengan berlari, tapi bangkit dengan langkah-langkah kecil, terseok-seok.
Langkah pertama yang kulakukan? Menenangkan Diri. Aku mematikan semua notifikasi, mencari tempat hening di taman dekat rumah. Aku duduk di bangku tua di bawah pohon rindang, hanya mendengarkan suara angin dan kicauan burung. Aku tidak berusaha memikirkan solusi, hanya bernapas. Mengondisikan hati yang gundah, membiarkannya perlahan menemukan ritmenya. Ajaibnya, dalam keheningan itu, pikiran mulai terasa sedikit lebih jernih.
Kemudian, aku mencoba menemukan Akar Masalah. Aku mengambil pena dan kertas, lalu menuliskan semua hal yang membebaniku. Bukan hanya gejalanya, tapi aku mencoba menggali lebih dalam, "Kenapa ini terjadi? Apa yang sebenarnya menjadi pemicu?" Aku bahkan mencoba melihat situasiku dari sudut pandang temanku—apa yang akan dia lakukan jika di posisiku? Perspektif baru ini membuka mataku. Aku menyadari, sebagian masalah ini muncul karena caraku bereaksi, bukan hanya karena masalah itu sendiri.
Di sinilah aku menyadari pentingnya mencari Dukungan. Aku menelepon sahabat lamaku, yang sudah seperti saudara. Dengan suara bergetar, aku menceritakan semuanya. Dia tidak memberiku solusi instan, tapi dia mendengarkan. Dia memvalidasi perasaanku. Pelukan virtualnya memberiku kekuatan. Aku juga memberanikan diri berkonsultasi dengan seorang konselor untuk masalah finansial dan emosional. Aku belajar bahwa meminta bantuan bukan tanda kelemahan, melainkan keberanian yang luar biasa. Berbagi beban tidak mengurangi masalah, tapi mengurangi beratnya masalah di pundakku.
Perlahan, aku mulai belajar mengelola Pikiran dan Emosi. Aku tahu, terjebak dalam pikiran negatif hanya akan menyeretku kembali ke lubang. Aku mulai melatih diri untuk berpikir positif, sekecil apapun itu. "Hari ini aku berhasil bangun." "Hari ini aku berhasil makan." Setiap kemenangan kecil adalah api yang menyala. Aku juga belajar untuk tidak menyalahkan diri sendiri secara berlebihan. Evaluasi diri itu perlu, tapi hukuman diri itu merusak. Aku bukan kegagalanku; aku adalah proses belajarku.
Dan akhirnya, aku menerima dan belajar dari setiap masalah. Aku menyadari bahwa hidup ini memang tak selalu berjalan sesuai rencana. Ada banyak hal di luar kendaliku. Menerima kenyataan pahit itu adalah pembebasan. Aku mulai melihat setiap badai bukan sebagai akhir, melainkan sebagai sebuah ujian, sebuah pelajaran berharga. Setiap air mata, setiap malam tanpa tidur, membentukku menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih bijaksana. Aku belajar tentang resiliensi, tentang ketabahan, dan tentang kapasitas diriku yang tak terbatas untuk bangkit.
Hari ini, aku tidak mengatakan semua masalahku lenyap. Tidak. Tapi caraku menghadapinya sudah sangat berbeda. Aku tahu, badai akan datang lagi. Tapi sekarang, aku punya bekal. Aku tahu bagaimana menenangkan diri, bagaimana mencari akar masalah, bagaimana mencari dukungan, bagaimana mengelola pikiranku, dan yang terpenting, bagaimana menerima dan belajar dari setiap tantangan.
Jadi, jika saat ini Anda merasa sendirian di tengah badai, ingatlah kisahku.
Anda tidak selemah yang Anda kira. Anda tidak sendirian. Badai itu tidak akan bertahan selamanya. Yang penting adalah bagaimana Anda memilih untuk menghadapinya. Tenangkan diri, temukan intinya, cari dukungan, kendalikan pikiran Anda, dan terimalah bahwa setiap badai adalah kesempatan emas untuk tumbuh.